Sabtu, 10 Maret 2012

demoklrasi liberal di indonesia



DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA

Nama :AMALI
KELAS : IPS – C
NIM : 10130074
MATAKULIAH : Sejarah Indonesia
Sumber : http//www.Liberalisme.- Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas:12 Desember 2011 19:28:24












DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA
A.    Pengertian Demokrasi Liberal
Sebuah  ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Liberalisme dan demokrasi, adalah dua hal yang sering disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi tersebut kemudian lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi liberal tersebut kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal "the End of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Kemudian, dalam tulisannya yang berjudul "Democracy, the Nation-State, and the Global System", David Held menyebutkan bahwa demokrasi liberal memsusatkan perhatian pada "kesimetrisan" dan "ke-kongruen-an" hubungan antara pengambil keputusan politik dan penerima keputusan politik. Pada abad 20, teori demokrasi telah berfokus pada konteks organisasi dan budaya dari prosedur demokrasi serta dampak dari konteks tersebut pada operasi dari "aturan mayoritas" atau "majority rule".
Liberalisme mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat diraih dengan kebebasan individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam berusaha. Liberalisme yang sangat menekankan dan mengedepankan kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai atau prinsip demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan. Prinsip mayoritas yang juga dianut dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika ekonomi dan politik hanya dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki akses terhadap kepemilikan individu.
B.     Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
·         Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
·         Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)
·         Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)
·         Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
·         Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)
·         Negara hanyalah alat (The State is Instrument  Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
·         Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Ciri –ciri Demokrasi Liberal
            a. Merupakan ciri khas Barat
            b. Berfalsafah Liberalisme
            c. Menganut asas Individualis
            d. Lebih menonjolkan HAM terutama dalam politik dan  Ekonomi
            e. Mengutamakan kebebasan individu yang sangat luas
            f. Mengenal oposisi dan perbedaan diakui sepenuhnya
            g. Multi partai
            h. Contoh: negara AS, Inggris, Prancis, Italia dll.

C.      Demokrasi Liberal di indonesia
Setelah Hindia Belanda berada di bawah pendudukan Jepang, lembaga Volksraad dibubarkan. Sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan militer, sehingga demokrasi sama sekali mengalami kemandegan. Kondisi ini baru mengalami perubahan berarti setelah Indonesia merdeka. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1.      Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
2.      Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partaipartai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Partai Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD, ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso.
Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis
Ciri pelaksanaan Pemerintahan :
1. Parlementer/ liberal
2. Banyak partai
3. Kabinet jatuh bangun
4. memakai Undang - Undang sementara tahun 1950
5. Presiden hanya sebagai simbol ketatanegaraan (kepala Negara)
Kabinet yang pernah berkuasa
1. Wilopo
2. Natsir
3. Ali Sastroamidjojo
4. Burhanudin Harahap
Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat.
Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 (Wasino, 2007).
Masa demokrasi liberal adalah masa lanjutan dari sebuah masa revolusi fisik ketika Indonesia mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus. Sedangkan masa revolusi fisik adalah sebuah lanjutan dari sebuah masa pergerakan nasional dan masa pendudukan Jepang. Masa pergerakan nasional adalah masa pembukaan pola pemikiran modern baik pemikiran yang asli Indonesia maupu pemikiran-pemikiran luar Indonesia yang berkembang pada waktu itu yang kemudian dicerna oleh para elit baru /intelektual Indonesia untuk di jadikan ideologi, rujukan atau sebuah perbandingan untuk meraba memperjuangkan ke depan nasib bangsanya.
Setelah pemberontakan 1926 (yg tidak disetujui tan malaka), praktis
gerakan ini terhenti karena pemerintah belanda sangat menghalangi pertumbuhan komunis di Indonesia. Dalam sejarah selanjutnya, justru kaum “extreme-left” seperti PKI yang paling lantang meyuarakan kemerdekakan Indonesia (hardliner non-cooperative)
Adapun pemikiran konservatif tradisional Jawa yang coba bangkit berlindung dibalik Budi Utomo yang telah dikuasai kelompok nasionalis Jawa. Kelompok Budi Utomo non-nasionalis Jawa bergabung dengan Indische Partij (IP), SI, Muhamadiyah, dll. Polemik pemikiran antara nasionalisme Jawa diwakili oleh Soetatmo dan nasionalisme Indonesia diwakili oleh Cipto mangunkusumo.dan kemudian para nasionalis  mahasiswa. yang belajar di negeri Belanda, yaitu kelompok Perhimpunan Indonesia (PI). Kelompok PI sangat dipengaruhi oleh ideologi barat terutama demokrasi tempat mereka belajar. PI ini pemimpin utamanya adalah Bung Hatta
E.     Demokrasi liberal di Indonesia : Kebebasan bagi "Minoritas"
Demokrasi yang berkontradiksi dengan liberalisme, pada prakteknya dapat dilihat di Indonesia. Indonesia yang menganut sistem demokrasi liberal memperlihatkan ketimpangan sosial politik dalam masyarakatnya. Hak-hak kepemilikan individu yang sangat ditekankan dalam liberalisme sangat terlihat di Indonesia terutama dalam bidang ekonomi yang pada akhirnya berdampak pada bidang lainnya, termasuk politik.
Kepemilikan individu terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik dengan nyata dan jelas dapat kita lihat terjadi di Indonesia. Hanya segelintir "minoritas" lah memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa hanya "minoritas" lah yang dapat menikmati kebebasan di Indonesia.
            "Minoritas", mereka yang miliki modal, mereka yang dapat menikmati kebebasan. Termasuk kebebasan untuk dapat menjalankan demokrasi. Ketimpangan sosial atau disparitas yang tinggi dalam bidang ekonomi dan politik dapat menunjukkan hal tersebut. Kemiskinan yang terjadi pada "mayoritas" masyarakat Indonesia didukung (baca : diperparah) pula dengan  masih berlakunya demokrasi prosedural di Indonesia.
Politik yang dikuasai "minoritas" tersebutlah yang dikuatkan oleh demokrasi prosedural yang sangat liberalistik di Indonesia. Kita dapat melihat bahwa partisipasi rakyat, dalam politik sebagai bagian penting dalam demokrasi, hanya terjadi secara periodik di Indonesia, hanya dalam pemilihan umum, yang (bahkan) secara prosedural pun masih belum dikatakan baik. Partisipasi politik yang aktif pun pada akhirnya (lagi-lagi) hanya dapat dijalankan secara "daily" oleh yang "minoritas" tadi. Hal tersebut dapat kita lihat pada partai-partai politik yang ada di Indonesia. Dimana keberadaan dan daya tahan partai-partai tersebut sangat ditentukan oleh keberadaan dan daya tahan modal (dalam artian ekonomi) yang tentunya hanya dimiliki "minoritas" tersebut sehingga partai-partai politik yang ada saat ini pun dapat dilihat hanya mengadepankan kepentingan segelintir "minoritas" yang berkepentingan dalam partai dan mengabaikan "mayoritas" (kecuali menjelang pemilu karena bagaimanapun "mayoritas" lah lumbung suara mereka).
          Praktek-praktek demokrasi liberal yang terjadi di Indonesia telah menunjukkan sebuah potret yang jelas mengenai konflik atau pertentangan yang terjadi dalam demokrasi dan liberalisme.  Dimana terjadi ketimpangan yang jelas bahwa kepemilikan individu terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik lah yang menentukan demokrasi di Indonesia. Segelintir "minoritas", mereka yang miliki modal, yang memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik-lah yang dapat menikmati kebebasan. Termasuk kebebasan untuk dapat menjalankan demokrasi. Hal tersebut tentu "memaksa" kita sebagai akademisi untuk mencari solusi atau alternatif lain atas permasalahan tersebut. Berbagai ilmuwan dan akademisi pun telah melakukannya dan dalam hal ini, penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar